Bulan Ramadhan setiap tahun seperti menjadi penyebab naiknya harga. Sekarang situasi sudah mendesak, tetapi tanda-tanda akan turunnya harga pangan belum menggembirakan. Sebagian mengatakan situasi sudah mengkhawatirkan. Itulah yang terjadi pada komoditi Bawang merah saat ini. Harga bawang merah berada pada posisi sekitar Rp40.000 hingga Rp45.000,-/kg ditingkat pengecer di sekitar Jabodetabek. Di Indonesia bagian timur kabarnya harga bawang merah sudah mencapai Rp60.000,- lebih. Daging sapi berada di harga lebih dari Rp100.000,- memang memberatkan konsumen. Semoga ini bukan waktu untuk mengambil kesempatan meraup untung besar bagi sebagian pihak terutama pelaku bisnis pangan.
Bawang merah selama ini memang salah satu komoditi sayuran yang “sexy” setelah cabe, karena peran kedua sayur ini sebagai bumbu tidak tergantikan oleh komoditi lain. Bahkan bentuknya harus segar, tidak bisa awetan, sehingga keberadaannya dipasar harus selalu tersedia. Karena sifatnya yang cepat rusak (perishable), sehingga jumlahnya di pasar akan sangat mempengaruhi tingkat harganya. Harga naik-turun tajam bisa terjadi di pasar dalam hitungan jam, tergantung jumlah barang yang masuk saat itu.
Agaknya masalah fluktuasi harga tajam bawang merah dan cabe ini sudah terjadi sejak dulu. Itu karena peran bawang lebih banyak sebagai bumbu, bukan sebagai lalap seperti cabe. Berdasarkan pengalaman sejarah selama ini, belum pernah ada pemerintahan kita, presiden kita, yang mampu mengatasi fluktuasi harga bawang merah dan cabe ini secara apik. Setiap tahun selalu berulang, terjadi “geger” atau kegaduhan soal fluktuasi harga dua jenis sayur ini. Sayangnya gaduhnya hanya saat harga tinggi yang menyusahkan konsumen. Sementara saat harga rendah, bahkan sangat rendah yang merugikan petani belum pernah ada upaya yang nyata dari pemerintah mengatasinya. Kalau orang Tegal – Brebes yang vulgar kalimatnya berkata “nganti modar-mati, nek rega (bawang merah, cabe atau lainnya) murah kaya kiye, belih nana sing mikirna”.
Contohnya saat ini, menjelang Ramadhan tahun ini. Harga grosiran bawang merah di pasar induk sudah berlangsung sekitar dua bulan berada pada posisi antara Rp28.000 s.d. Rp32.000,-, tergantung kelas/grade-nya. Dengan begitu, harga di tingkat konsumen akan terbentuk menjadi Rp35.000 hingga Rp40.000,-/kg. Memang sudah mulai memberatkan konsumen. Kalau ini terus berlangsung hingga Ramadhan, saat umat Islam menjalankan ibadah puasa dan menyambut lebaran, sementara pasokan tidak bertambah, tentu harga akan naik lagi. Maklum, kebutuhan masyarakat akan meningkat sekitar 6% saat Ramadhan dan hari raya lebaran. Presiden simpati dan berharap agar harga bawang merah menjadi Rp25.000,- ditingkat konsumen itu sangat baik. Walau ditanggapi kurang gembira oleh petani. Sebenarnya bukan oleh petani saja, tetapi sebenarnya oleh para pedagang yang suka dengan harga “berfluktuasi” tinggi.
Sekarang bagaimana caranya menurunkan harga bwang merah yang sekitar Rp40.000,- ditingkat konsumen itu menjadi sekitar Rp25.000,-/kg beberapa minggu kedepan.
Pemerintah yang berkait dengan bawang merah sudah bereaksi. Bahkan bereaksi cepat. Kalau reaksi cepat itu terjadi disepak bola Eropa yang ditunjukkan dengan serangan balik oleh Ronaldo, Benzema, atau Bale tentu menarik. Karena larinya cepat, operannya tepat dan tendangannya pun tepat ke jantung lawan, sehingga terjadilah gol yang indah.
Tetapi yang terjadi dalam seminggu terakhir di bawang merah ini agaknya tidak seperti itu, walau semua sudah bergerak - walau tidak secepat Ronaldo - keringat sudah basah kuyup, bahkan berdarah-darah, gol tidak terjadi. Harga bawang merah tidak turun-turun. Mengapa..?
Pertama, karena produk yang dipasok ke pasar kurang tepat. Tidak tepat jenisnya, tidak tepat bentuknya dan tidak tepat jumlahnya.
Bawang merah itu banyak jenis dan masing-masing daerah punya kesukaan sendiri-sendiri. Ada Bima-Curut dari Brebes, Cirebon dan sekitar, itu kesukaan orang Jakarta dan sekitarnya. Bentuknya, orang Jawa suka bawang rogolan atau protolan.
Ada jenis Bali-Karet dari Majalengka, ada jenis Philipine atau Super-philip dari Nganjuk dan Jatim lain, Ada jenis Bima dari NTB itu kesukaan masyarakat Indonesia timur dan Kalimantan. Orang Kalimantan dan Sumatra suka bawang merah kondean. Kalau itu salah drop, pasar tidak mau menyerap.
Berbagai macam jenis bawang merah itu juga berbagai harga dipasar. Contohnya untuk pasar Jabodetabek, kalau jenis Bima-Curut dari Brebes klas A harga dipasar induk Rp30.000,- kalau jenis Bali Karet dari Majalengka masuk pasar saat jenis Bima Curut pasokannya menurun akan dibeli, tetapi dengan harga sekitar Rp5.000 s.d. 10.000,- lebih rendah. Jenis Super Plilip atau Philiphine dari Nganjuk, atau jenis Bima NTB akan beda lagi harganya. Sementara hampir 80% bawang merah yang beredar di Jakarta adalah jenis Bima-Curut dari Brebes dan sekitar. Inilah faktor pertama penyebab tidak gol itu.
Kedua , adalah tidak tepat cara atau strategi mendistribusikannya atau cara masuknya kepasar.
Pasokan bawang merah oleh Pemerintah di pasar induk mesti diadakan secara kontinu, dengan tersedianya barang di pasar induk dalam jumlah yang cukup dan harga yang lebih rendah, tentunya akan menarik pembeli pasar induk untuk membeli barang dari Pemerintah asalkan kualitas dan jenis cocok untuk konsumen di pasar Induk .
Kondisi ini akan menyebabkan harga jual pedagang lain yg ingin menjual dengan harga tinggi terkoreksi, kondisi ini dilanjutkan sampai harga yang dianggap pantas oleh Pemerintah tercapai .
Apabila pembelian dari pasar induk turun, dengan sendirinya harga di pasar eceran pun turun juga, karena mekanisme pasar pasti terjadi .
Pada saat harga barang mulai turun, Pemerintah harus juga menjaga harga pembelian ditingkat petani, apabila tidak, pedagang pengumpul akan menekan petani dan sangat merugikan petani, jadi Pemerintah membeli bawang milik petani dengan harga dasar yang tidak merugikan petani, dan bawang yang dibeli dijual kembali di pasar dengan harga wajar sehingga terjadi keseimbangan harga dan tidak ada yang dirugikan .
Faktor pendukung untuk berjalannya kontrol harga secara alami ini adalah adanya pengaturan pola tanam yang dilakukan oleh petani dengan aturan serta pengendalian dari pemerintah. Presiden menyebut “pemerintah harus hadir” itu adalah dalam tataran mengatur. Dalam situasi darurat, mungkin perlu ada produk yang “dikuasai” pemerintah. Unit produksi itu sebaiknya dilakukan oleh masyarakat yang dengan produksi yang dikuasai pemerintah melalui subsidi harga. Artinya, petani tetap menerima harga wajar seperti yang terjadi di pasar, walau pemerintah harus menjualnya dengan harga yang lebih murah seperti sekarang ini. “biaya stabilisasi” itu mesti disediakan pemerintah. Bukan memaksa petani menjual dengan harga murah atau lebih rendah dari pasar.
Pekerjaan berikutnya adalah, bagaimana peran pemerintah apabila komoditi pangan strategis itu mengalami “panen raya” sehingga produk melimpah dipasaran dan harga jatuh. Situasi ini sebenarnya juga tidak kalah seriusnya karena petani menderita kerugian.
Kalau sistem ditata secara baik, situasi pangan penyediaannya stabil, maka hargapun akan stabil. Kapanpun, termasuk bulan Ramadhan plus Idul Fitri yang konsumsinya paling hanya naik sekitar 5-7% selama 1,5 bulanan, tidak akan menyebabkan gejolak harga.