Reputasi Indonesia sebagai negara agraris memang tak perlu diragukan lagi. Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 41% masyarakat Indonesia bekerja di sektor pertanian. Hal tersebut ditunjang oleh ketersediaan lahan pertanian yang luas dan subur.
Meskipun memiliki SDM yang melimpah dan lahan pertanian yang luas, sektor pertanian di tanah air nyatanya masih mengalami banyak kendala besar. Moeldoko selaku Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), menjabarkan tentang lima masalah sektor tani Indonesia dengan uraian sebagai berikut:
Tanah Pertanian Semakin Sempit dan Rusak
Data Kementerian ATS dan BPS tahun 2016 menyebut bahwa Indonesia memiliki lahan pertanian seluas 8,1 juta hektar. Namun, data serupa menunjukkan penyusutan lahan menjadi 7,1 juta hektar pada tahun 2018. Tak hanya mengalami penyempitan, kondisi tanah pertanian di Pulau Jawa juga dirundung kerusakan. Risiko kerusakan terjadi akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Jika hal ini dibiarkan begitu saja, maka kualitas dan kuantitas hasil tani akan terus menurun.
Keterbatasan Literasi Finansial di Kalangan Petani
Para petani membutuhkan modal untuk membeli bibit unggul dan menggarap lahan pertanian berskala besar. Sayangnya, program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang digagas pemerintah ternyata belum berjalan efektif bagi para petani. Mayoritas petani masih memiliki pola pikir konvensional yang menganggap bahwa program kredit usaha itu rumit dan kurang bermanfaat. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan lebih gencar mengadakan program edukasi untuk memperkenalkan manfaat KUR di kalangan petani.
Masalah Manajemen yang Dialami Mayoritas Petani
Tak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar petani Indonesia masih menggarap lahan dengan tujuan utama menyambung hidup. Uang hasil panen hanya digunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari tanpa persiapan matang untuk proses penggarapan lahan yang berikutnya. Masalah manajemen inilah yang membuat kualitas dan kuantitas hasil tani sulit meningkat secara signifikan. Mulai sekarang, para petani harus memahami konsep manajemen bisnis tani secara efisien supaya hasil pertanian terus meningkat.
Para Petani Tanah Air Masih Gagap Teknologi
Masalah lainnya yang juga menjadi pekerjaan rumah bagi sektor tani tanah air adalah kondisi petani yang gagap teknologi. Bahkan, tak sedikit petani yang belum mampu mengukur pH tanah, kesulitan memilih benih unggul, atau tak mampu mengenali zat-zat kimia yang berbahaya bagi tanah. Keterbatasan pemahaman teknologi membuat proses tani berlangsung kurang efektif dan hasilnya pun tidak maksimal. Tak jarang pula petani harus mengeluarkan banyak biaya karena tidak menggunakan teknologi terbaik yang lebih efisien. Salah satu contoh konkretnya adalah biaya produksi beras Indonesia yang mencapai Rp 5.900 per kilogram. Biaya tersebut terbilang sangat besar jika dibandingkan dengan Vietnam yang hanya butuh biaya Rp 2.300 per kilogram.
Persoalan Pasca Panen yang Membuat Harga Anjlok
Hasil panen yang melimpah kerap membuat harga jualnya menjadi anjlok di pasaran. Masalah klasik ini sebenarnya bisa diatasi dengan beberapa solusi, misalnya menerapkan distribusi logistik secara merata ke seluruh wilayah tanah air, substitusi material industri dengan bahan baku lokal, dan dukungan terhadap Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang mampu mengelola hasil panen. Beberapa solusi tersebut akan membuat harga komoditas hasil panen menjadi lebih stabil, sekaligus meminimalkan kerugian di kalangan petani.
Pemerintah, pebisnis, petani, dan masyarakat harus bersinergi untuk menyelesaikan masalah sektor tani di tanah air agar kondisi ketahanan pangan yang dicita-citakan bisa segera terwujud. Semoga hari pangan sedunia yang diperingati pada tanggal 16 Oktober menjadi momentum bagi Indonesia untuk menuntaskan berbagai permasalahan pertanian hingga tuntas. Tak ada kata terlambat untuk mewujudkan ketahanan pangan demi kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik lagi.